Jumat, 19 April 2013



Saya melakukan perjalanan pulang setelah melakukan safar yang cukup lama. Setelah mengambil posisi di pesawat, qadarullah, posisiku di dekat sekelompok pemuda yang doyan hura-hura. Ketika tertawa dibuat terbahak-bahak, dan terlalu banyak bersenda gurau. Tempat itupun penuh dengan bau rokok mereka.
Ketika itu, pesawat penuh penumpang, sehingga tidak memungkinkanku untuk berpindah tempat. Ingin sekali aku pergi dari tempat ini, biar aku bisa istirahat. Sesak rasanya duduk bersama mereka. Aku hanya bisa menenangkan pikiranku dengan mengeluarkan mushaf dan membaca Al-Quran dengan suara pelan.
Beberapa saat kemudian, kondisi mulai tenang. Ada diantara pemuda ramai itu mulai membaca koran, ada yang sudah mulai tidur. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan salah satu pemuda yang hura-hura duduk di sampingku: cukup..cukup…! Saya mengira dia merasa terganggu dengan suaraku. Akupun minta maaf, dan melanjutkan baca Al-Quran dengan suara pelan yang hanya bisa kudengar.
Tiba-tiba orang itu menutupi wajahnya dengan tangannya, kepalanya naik turun, maju mundur, dengan respon kasar dia memarahi saya: ‘Saya sudah minta kamu untuk diam, diam. Saya gak sabar!’ Diapun langsung pergi meninggalkan tempat duduknya, menghilang dari pandanganku. Sampai akhirnya dia kembali. Dia minta maaf, dan menyesali perbuatannya, kemudian tenang di tempat duduknya.
Saya tidak tahu, apa yg sedang terjadi. Tapi setelah tenang sejenak, dia melihat saya dan air matanya mengalir. Di situlah dia mulai bercerita:
Sudah kurang lebih tiga tahun, saya belum pernah meletakkan dahiku untuk sujud, saya tidak menyentuh sedikitpun satu ayat dalam Al-Quran. Sebulan ini saya melakukan traveling. Hampir semua maksiat telah aku cicipi dalam perjalanan ini.
Aku mendengar anda membaca Al-Quran. Terasa hitam dunia di wajahku. Sesak dadaku. Aku merasa sangat hina. Aku merasa semua ayat yang engkau baca menghantam jasadku, layaknya cambuk. Akupun bingung dan bertanya pada diriku: ‘Sampai kapan kelalaian ini akan kualami?’ ‘Kemana lagi aku harus melaju?’ ‘Setelah piknik penuh hura-hura ini apalagi yang harus aku lakukan?’ Lalu tadi aku ke toilet. Tahu kenapa? Saya ingin menangis sejadinya, dan tidak ada tempat yang terlihat manusia, selain toilet.”
Akupun menasehatinya untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Setelah itu dia terdiam. Ketika pesawat mendarat. Dia memintaku ngobrol sejenak. Seolah dia ingin menjauh dari kawan-kawannya. Semangat kesungguhan untuk bertaubat sangat kelihatan dari raut wajahnya. Dia bertanya: “Apa mungkin Allah akan menerima taubatku?” Kujawab dengan firman Allah, ‘Apakah anda pernah membaca firman Allah,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53)
Dia mulai senyum kecil, senyum penuh harapan dan air matanya berlinangan. Dia menyampaikan kepadaku: “Saya janji, saya akan kembali kepada Allah.”

Pelajaran:

Manusia adalah makhluk lemah. Tak kuasa untuk bersih dari dosa dan maksiat. Ditambah dengan godaan pasukan iblis yang berusaha selalu menyeretnya ke dunia hitam. Tidak ada yang maksum kecuali para Nabi yang Allah lindungi dari dosa besar. Di saat yang sama, Allah membuka pintu taubat yang seluas-luasnya, agar mereka tidak putus asa dari rahmat Sang Pencipta. Tinggal satu yang perlu digugah: Kapan saatnya kita mau bertaubat?
Jika Allah sangat menyayangi kita, mengapa diri kita tidak menyayangi diri kita sendiri.
Dalam perjalanan pulang dari peperangan, kaum muslimin membawa kemenangan besar. Mereka pulang dengan membawa harta rampasan dan tawanan. Tiba-tiba ada seorang ibu diantara tawanan itu, yang kebingungan mencari anaknya. Sampai akhirnya ketemu dan dia susui. Melihat hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat,
أتروْن هذه طارحةً ولدَها في النار؟
“Mungkinkah wanita ini akan melemparkan anaknya ke api?”
Para sahabat spontan menjawab: “Demi Allah, tidak mungkin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menimpali:
الَلَّهُ أرحمُ بعباده مِن هذه بولدها
“Allah lebih menyayangi hamba-Nya, dari pada kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari).
Sumber: Tajarub Da’awiyah Najihah (Diterjemahkan Oleh ustadz Ammi Nur Baits)

Sumber :  www.KisahMuslim.com
dipublikasi ulang oleh : www.PustakaSalafiShop.Blogspot.com

Tagged:

0 komentar:

Posting Komentar